SAMARINDA – Ketimpangan alokasi anggaran pendidikan antara wilayah pusat kota dan pinggiran jadi sorotan. Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Anhar, melontarkan kritik tajam terkait hal ini, khususnya di kawasan Palaran.
Anhar bilang dari alokasi anggaran pada tahun 2025 untuk kegiatan fisik di bidang pendidikan mencapai sekitar Rp317 miliar, sementara daerah pinggiran seperti kecamatan Palaran hanya mendapat porsi Rp10 miliar untuk jenjang SD dan SMP.
Angka itu dinilainya sangat timpang jika dibandingkan dengan kebutuhan di lapangan.
“Padahal alokasi pendidikan khusus fisik tahun 2025 sekitar Rp317 miliar, tapi Palaran hanya diberi Rp10 miliar untuk SD dan SMP,” ujar Anhar kepada wartawan (27/6/2025).
Ia menegaskan bahwa minimnya anggaran tersebut berdampak langsung terhadap kondisi fisik bangunan sekolah dan fasilitas penunjang pendidikan yang tidak memadai. Anhar menggambarkan sekolah-sekolah di Palaran masih banyak yang jauh dari kata layak.
“Gedung tidak semerawut, fasilitas tidak lengkap, ini sangat jauh dari kata memadai,” sebutnya.
Lebih jauh, ia menyebut ketimpangan fasilitas inilah yang memicu lahirnya stigma sekolah favorit di pusat kota. Menurutnya, hal ini turut mendorong praktik curang dalam proses Penerimaan Murid Baru (SPMB), karena orang tua berlomba-lomba mencari sekolah yang dianggap unggul secara infrastruktur.
“Ini yang membuka peluang praktik curang di sekolah. Orang tua berlomba-lomba cari sekolah dengan fasilitas terbaik. Maka muncul istilah sekolah favorit,” tegasnya.
Anhar menilai, jika seluruh sekolah di Samarinda memiliki fasilitas dan bangunan yang setara, maka persepsi masyarakat terhadap kualitas sekolah akan merata. Ia pun mendorong pemerintah kota agar mengevaluasi ulang skema penganggaran untuk memastikan pemerataan pembangunan pendidikan.
“Jika fasilitas pendidikan bisa merata, untuk apa para orang tua pilih-pilih sekolah? Kan sama saja,” paparnya.
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa persoalan ini bukan semata kesalahan masyarakat, tetapi mencerminkan kurang optimalnya pemerintah dalam menyediakan infrastruktur pendidikan secara adil.
“Masalah pendidikan kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, tapi kita harus refleksi kegagalan dalam menyediakan infrastruktur pendidikan yang merata,” pungkasnya.
(Adv/fran)