FASENEWS.ID, SAMARINDA – Ketua RT 24 dan RT 28 di Kelurahan Sungai Keledang, membenarkan adanya aksi pemasangan sepanduk yang dilakukan oleh warga RT 24 dan sekitarnya terhadap pembangunan gereja di sekitar Jalan Reel, Kelurahan Sungai Keledang Kota Samarinda.
Hal itu merespon pertanyaan awak redaksi mengenai isu beredar adanya penolakan pembangunan tempat ibadah di kawasan tersebut.
Pada poinnya, penolakan itu datang, dikarenakan jumlah warga yang ada di sekitaran lokasi tidaklah sesuai dengan jumlah yang sudah diatur di Peraturan SK 2 Menteri.
Dikatakan, Marliani, selaku Ketua RT 24, adanya pemasangan spanduk itu, karena para warga tidak sejutu dengan adanya pembangunan tempat ibadah tersebut terkhusus bagi warga sekitar RT.24 Kelurahan Sungai Pinang.
“Karena di sini saya mewakili para warga sekitar RT 24 yang tidak menyetujui pembangunan tersebut maka saya juga harus mengikuti demikian,” ucapnya.
Berawal hanya ingin menjalankan kegiatan di lingkungan tersebut, Marliani ungkap para pengurus gereja ingin membangun tempat ibadah mereka.
“Sejauh ini mereka telah melakukan kegiatan ibadah di RT. Kami selama 2 tahun dan kami ijinkan karena mengingat kita utamakan toleransi ke bhineka tunggal ika-an,”
“Namun lama – kelamaan pihak mau mendirikan gereja atau tempat ibadah,” tambahnya.
Marliani juga menceritakan terkait masalah yang pernah terjadi di masa lalu bahwa sungai keledang terkait masalah keagamaan terlebih pendirian gereja menurutnya sangat riskan, risikonya akan terjadi benturan – benturan.
“Untuk pembangunan tempat ibadah kan seharusnya diikuti oleh banyaknya orang yang berdomisili di sekitar tempat tersebut,” ucap Marliani.
Marliani juga mengakui bahwa pihak pengurus gereja telah meminta kepadanya terkait permohonan ijin domisili tersebut untuk bisa membangun tempat ibadah mereka.
Namun Marliani tidak memberikannya dikarenakan aduan para warga yang tidak menyetujui adanya pembangunan di sekitaran tempat mereka.
“Sebelumnya pihak gereja pernah meminta keterangan domisili namun banyak warga yang tidak setuju, jika demikian tentu saja surat domisili tidak kami beri,” tegasnya.
“Survei kami di RT. 24 hanya terdapat 23 Kepala Keluarga (KK) yang beragama non muslim dan selebihnya mayoritas beragama Islam sebanyak 171 KK, ucapnya.
Senada dengan keterangan Ketua RT.24, Tim Redaksi juga meminta keterangan kepada Hijrah Saputra selaku Ketua RT. 28 yang berdomisili di Kelurahan Sungai Keledang itu pada hari yang sama,
Diungkapnya kejadian aksi pemasangan spanduk tersebut oleh para warga setelah kegiatan sholat Jumat tanggal (20/9/24).
“Itu adalah spontanitas dari warga kelurahan sungai keledang dikarenakan ijin berdirinya gereja tersebut tidak sesuai dengan peruntukan melalui SKB 3 menteri,” ucap Hijrah Saputra.
“Di mana yang berdomisili di RT. 24 hanya sekitar 20 sampai 25 orang, yang dimana warga yang beragama kristen ini lebih sedikit daripada warganya yang beragama muslim,” tambahnya.
Tim redaksi masih coba lakukan konfirmasi kepada Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) terkait dengan isu penolakan tempat ibadah ini.
Sebagai informasi, dalam pendirian rumah ibadah, salah satu yang menjadi acuan adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam peraturan ini, pendirian rumah ibadah harus didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk.
Pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Selain itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah, yaitu:
- daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat;
- dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;
- rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota;
- dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. (dil)