SAMARINDA – Meskipun telah menyandang predikat sebagai Kota Layak Anak (KLA), Kota Samarinda masih dihadapkan pada tantangan serius, yakni tingginya angka pernikahan usia dini. Fenomena ini dinilai sebagai alarm sosial yang harus segera ditangani bersama.
Sri Puji Astuti, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, menyatakan bahwa pernikahan dini bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi mencerminkan persoalan pemahaman, budaya, dan tekanan sosial ekonomi di tengah masyarakat.
“Masalah ini tidak bisa diselesaikan hanya lewat regulasi. Selama pola pikir dan lingkungan sosial tidak berubah, program sebaik apa pun tidak akan efektif,” tegas Puji.
Ia menekankan pentingnya sinergi lintas sektor dalam melindungi anak, mulai dari pemerintah, keluarga, sekolah, tokoh masyarakat, hingga aparat hukum. Perlindungan anak, menurutnya, tidak boleh bersifat sektoral atau parsial.
Puji juga menyoroti praktik pernikahan dini yang masih terjadi diam-diam dengan bantuan penghulu ilegal. Hal ini, menurutnya, berdampak langsung pada pendidikan anak dan menjadi hambatan dalam mewujudkan program wajib belajar 12 tahun.
“Anak-anak yang menikah di usia muda cenderung putus sekolah. Ini bukan cuma soal individu, tapi soal masa depan kota,” ujarnya.
Selain aspek hukum dan pendidikan, Puji juga mengangkat isu minimnya fasilitas ramah anak di lingkungan tempat tinggal, seperti taman bermain, pojok baca, dan layanan konseling remaja.
Menurutnya, pembangunan fisik harus disertai program pemberdayaan keluarga dan komunitas yang berkelanjutan.
“Yang dibutuhkan bukan hanya ruang bermain, tapi lingkungan di mana anak merasa aman, dihargai, dan didukung,” katanya.
Ia mengapresiasi berbagai upaya Pemkot Samarinda sejauh ini, seperti peluncuran Kartu Identitas Anak (KIA), program internet sehat, hingga pembangunan ruang ramah anak.
Namun, Puji mengingatkan bahwa jangkauan program tersebut perlu diperluas agar dapat diakses secara merata hingga ke wilayah pelosok.
Menurutnya, kunci keberhasilan membangun kota yang benar-benar ramah anak ada pada perubahan pola pikir masyarakat.
“Kita bisa bangun fasilitas dan jalankan program, tapi kalau cara pandang terhadap anak belum berubah, mereka tetap berisiko kehilangan masa kecil dan masa depan,” tutur Puji.
Di akhir pernyataannya, Puji mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam menjaga hak-hak anak sebagai bentuk investasi sosial jangka panjang.
“Anak-anak yang tumbuh sehat, cerdas, dan terlindungi akan menjadi pilar masa depan kota ini. Jangan biarkan mereka kehilangan harapan hanya karena kita lengah hari ini,” tutupnya. (Adv/MR)