FASENEWS.ID – Krisis air bersih masih menjadi tantangan besar di Indonesia, dengan banyak daerah yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar ini.
Berdasarkan data dari UNICEF dan WHO pada 2021, Indonesia berada di urutan kelima negara dengan tingkat krisis air bersih tertinggi di dunia.
Di Pulau Tihi-Tihi, Kota Bontang, Kalimantan Timur, masyarakat menghadapi kesulitan besar untuk mendapatkan air bersih.
Warga di sana terpaksa membeli air sebanyak 40 liter dengan harga Rp30.000, belum termasuk biaya pengiriman, yang dapat memakan waktu hingga sepuluh hari.
Menanggapi kondisi ini, Noor Agustina, Penggerak Swadaya Masyarakat (PSM) DPMPD Kaltim, menekankan pentingnya penerapan Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk mengatasi masalah air bersih yang kian mendesak.
“Dengan kondisi geografis dan potensi alam yang dimiliki Indonesia, teknologi inovatif sangat dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih,” ungkap Noor Agustina.
Menariknya, salah satu solusi inovatif hadir dari tim mahasiswa Universitas Mulawarman yang dipimpin oleh Filza Sigit Pratama.
Mereka menciptakan ARTSINUM (Air Laut Siap Minum), sebuah teknologi desalinasi berbasis PACOCOP (Parabolic Heat Concentration dan Controlled Photovoltaic).
Teknologi ini dirancang untuk memanfaatkan potensi energi matahari yang melimpah di Pulau Tihi-Tihi, dengan kapasitas 4,5 kWh/m²/hari, serta sumber daya air laut yang melimpah.
PACOCOP menggabungkan teknologi parabolic heat concentrator dan photovoltaic yang dapat memusatkan panas untuk memanaskan air laut hingga menjadi uap.
Uap tersebut kemudian dikondensasikan menjadi air bersih melalui kondensor.
Sistem ini juga memanfaatkan photovoltaic untuk menghasilkan listrik dari energi matahari, yang mendukung proses pemanasan elektrik.
“PACOCOP adalah langkah awal menuju kemandirian air bersih masyarakat Pulau Tihi-Tihi,” jelas Filza Sigit Pratama dalam presentasinya.
Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa air yang dihasilkan dari proses distilasi PACOCOP memiliki pH 6, dan konduktivitas listrik yang turun signifikan dari 36 mS menjadi 400 µS, memenuhi standar air bersih dari Kementerian Kesehatan.
Selain itu, PACOCOP dapat menghasilkan 1.300 ml air bersih dalam tiga jam dengan efisiensi sistem sebesar 28,3%.
Walaupun efisiensinya masih bisa ditingkatkan, teknologi ini telah memberikan dampak yang signifikan dalam mengatasi krisis air bersih.
Dengan menggunakan PACOCOP, masyarakat diperkirakan dapat menghemat biaya hingga 14,31% dibandingkan dengan membeli air secara konvensional.
Meskipun investasi awal cukup besar, alat ini diperkirakan dapat mencapai payback period dalam 472 hari.
Filza juga menyatakan bahwa timnya berencana untuk mengembangkan PACOCOP lebih lanjut, dengan menambahkan teknologi MPPT (Maximum Power Point Tracking) dan solar tracker untuk meningkatkan efisiensinya.
Mereka juga membuka peluang untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah serta pihak swasta agar teknologi ini bisa diimplementasikan lebih luas.
“Kami berharap dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat agar PACOCOP dapat menjadi solusi nyata bagi masyarakat Pulau Tihi-Tihi, serta menjadi model inovasi untuk daerah lain yang menghadapi krisis air bersih,” ujar Filza.
Melalui adanya inovasi ini, masyarakat Pulau Tihi-Tihi kini dapat berharap pada kemandirian dalam memenuhi kebutuhan air bersih, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pasokan air dari luar pulau. (adv)