FASENEWS.ID – Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kutai Barat melalui Kepala Bidang Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Kampung, Erlinsiana, menyatakan komitmennya untuk memperkuat, mengakui, dan melindungi Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Erlinsiana menegaskan bahwa MHA merupakan bagian integral dari identitas bangsa Indonesia.
“Keberadaan MHA mencerminkan keberagaman Indonesia. Pengakuan dan perlindungan mereka merupakan amanat konstitusi yang harus dijalankan,” ujar Erlinsiana.
Kabupaten Kutai Barat, yang merupakan wilayah terbesar keempat di Kalimantan Timur dengan luas mencapai 20.384,6 km², dihuni oleh berbagai suku bangsa.
Dengan 16 kecamatan, 190 kampung, dan 4 kelurahan, Kutai Barat memiliki populasi sekitar 172.288 jiwa, dengan etnis Dayak Bahau, Dayak Tunjung, dan Kutai yang saling berdampingan.
Wilayah ini dikenal dengan keberagaman budaya dan tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini.
Tiap etnis di Kutai Barat memiliki tata kelola adat yang khas, termasuk sistem sosial, ritual, dan pengelolaan sumber daya alam.
Pengakuan hukum yang formal menjadi penting agar komunitas adat bisa terus menjaga dan melestarikan budaya mereka serta berpartisipasi dalam pembangunan daerah.
Menurut Erlinsiana, dengan dasar hukum kuat, yakni UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membuka peluang bagi MHA untuk mendapatkan pengakuan sebagai Desa Adat.
Dengan pengakuan ini, MHA bisa mengelola wilayah secara mandiri dengan dasar hukum yang jelas, yang pada gilirannya meningkatkan kemandirian dan daya saing mereka.
Beberapa komunitas adat di Kutai Barat, seperti MHA Dayak Benuaq Telimuq Kampung Penarung dan MHA Dayak Bahau Uma Luhaat Kampung Ujoh Halang, telah menerima pengakuan resmi dari pemerintah daerah melalui Surat Keputusan (SK) Bupati.
Erlinsiana menambahkan, pengakuan ini menjadi bukti komitmen pemerintah untuk memberikan hak kepada masyarakat adat.
“Langkah ini adalah bukti nyata keberpihakan pemerintah kepada masyarakat adat. Mereka berhak mendapatkan pengakuan formal atas wilayah dan tradisi mereka,” tambah Erlinsiana.
Manfaat dari pengakuan MHA ini sangat besar.
Secara administratif, komunitas adat kini dapat mengakses anggaran dari APBN, APBD, dan APBDes untuk pemberdayaan masyarakat.
Di sisi sosial, pengakuan ini memperkuat identitas dan kebanggaan lokal.
“Selain itu, manfaat ekologis juga sangat besar. Pengelolaan wilayah adat berbasis kearifan lokal mampu menjaga keseimbangan lingkungan,” jelas Erlinsiana.
Dengan cara ini, pengelolaan berbasis kearifan lokal dapat menjaga kelestarian ekosistem dan sumber daya alam di Kutai Barat.
Namun, tantangan besar tetap ada, seperti minimnya tenaga teknis dan keterbatasan literasi masyarakat adat dalam menyusun dokumen etnografi.
“Proses administrasi seperti ini sering kali menjadi hambatan karena kurangnya tenaga pendamping yang memahami prosedur teknis,” tutur Erlinsiana.
Tak hanya itu, terdapat beberapa kampung pun belum memiliki batas administratif yang jelas, yang membuat identifikasi menjadi sulit.
Untuk itu, pemerintah terus berupaya dengan melakukan pertemuan teknis, sosialisasi, dan pendampingan langsung ke komunitas adat.
“Kami terus melakukan sosialisasi dan pendampingan agar proses pengakuan ini dapat berjalan lancar. Pendekatan jemput bola adalah salah satu cara kami mempercepat proses ini,” kata Erlinsiana.
Erlinsiana berharap dengan langkah-langkah ini, MHA di Kutai Barat akan semakin berdaya dan mandiri.
“Kolaborasi antara pemerintah dan komunitas adat sangat penting untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan,” pungkasnya. (adv)