SAMARINDA – Maraknya kehadiran pak ogah, atau pengatur lalu lintas informal di persimpangan jalan Samarinda, bukan hanya persoalan ketertiban semata. Di balik fenomena ini, tersimpan potret permasalahan sosial dan ekonomi yang nyata di masyarakat.
Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda, Ronald Stephen Lonteng, menilai bahwa keberadaan pak ogah perlu disikapi secara lebih bijak dan manusiawi. Ia menegaskan, banyak dari mereka yang turun ke jalan bukan karena pilihan, melainkan karena tekanan ekonomi.
“Ini bukan hanya soal pelanggaran lalu lintas. Kita juga harus melihat sisi sosialnya. Banyak dari mereka melakukan ini karena memang tidak punya alternatif penghasilan lain,” ujar Ronald.
Ia menambahkan, dalam beberapa situasi, kehadiran pak ogah justru memberi kontribusi dalam mengurai kemacetan, terutama di persimpangan padat saat jam-jam sibuk. Meski begitu, pengawasan tetap diperlukan agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Kalau mereka membantu dengan cara yang tidak merugikan, kita juga tidak bisa langsung menghakimi. Tapi kalau sudah ada unsur paksaan atau tindakan merugikan pengendara, tentu harus ditindak tegas,” jelasnya.
Ronald meminta agar penertiban dilakukan dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan tidak menyamaratakan semua pelaku. Ia mendorong pemerintah untuk memilah mana yang perlu dibina, bukan sekadar ditertibkan secara paksa.
“Penanganannya harus selektif. Jangan semua dipukul rata. Ada yang memang perlu pendampingan, bukan penindakan,” katanya.
Lebih jauh, ia mendorong Pemkot Samarinda untuk menyusun solusi jangka panjang, terutama yang menyasar akar permasalahan ekonomi. Menurutnya, pelatihan keterampilan dan pembukaan lapangan kerja informal yang legal bisa menjadi jalan keluar yang lebih manusiawi.
“Kalau akar persoalannya adalah ekonomi, maka solusinya juga harus ekonomis. Jangan cuma fokus pada razia, tapi pikirkan juga bagaimana mereka bisa diberdayakan dan punya penghasilan yang lebih layak,” tutup Ronald.
(Adv/MR)