FASENEWS.ID – Kepala Bidang Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Stevanus Tung Liah, sambut baik langkah Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (DPMPD) Kaltim dalam menggelar Rakornis (Rapat Koordinasi Teknis ) dan FGD (Focus Group Discussion) terkait Kebijakan Penetapan dan Penegasan Batas Desa se-Kaltim 2024
Ia katakan, agenda itu sangat penting untuk menyatukan persepsi semua, terutama para ASN, mengenai percepatan penetapan batas desa di Kaltim.
“Untuk menyamakan persepsi dalam hal percepatan dan penegasan batas desa yang ada di Kaltim,” ujarnya.
Stevanus sampaikan bahwa aturan dan prosedur yang berkaitan dengan ini seringkali berbeda-beda.
Dalam penyampaiannya, penjelasan langsung dari Ditjen Bina Pemdes Kemendagri RI tentang pentingnya penetapan batas desa, sangat bermanfaat bagi mereka yang bekerja di lapangan.
“Saat memberikan pemahaman terkait pentingnya penegasan batas itu yang dirasakan sangat bagus, bagi kita yang melaksanakan kegiatan peningkatan masing-masing daerah,” ujarnya.
Stevanus sampaikan saat ini di Kukar, beberapa desa telah melewati proses penetapan batas desa.
“Lebih dari 83% desa sudah selesai, yang artinya kita hampir selesaikan dari total 193 desa,” ungkapnya.
Namun dia ungkap masih ada beberapa kecamatan seperti Tabang dan Marang Kayu yang progresnya masih di bawah 50%.
“Kami sudah berkoordinasi dengan DPM Kukar dan akan meminta masukan dari DPMPD Provinsi untuk menyelesaikan masalah di dua kecamatan tersebut,” jelasnya.
Lebih lanjut masalah utama yang menghambat penetapan batas desa adalah ketidaksepakatan antara masyarakat.
Meskipun kedua pihak sudah paham bahwa penetapan batas desa tidak menghilangkan hak mereka, namun seringkali ada konflik kepentingan terkait sumber daya alam.
“Padahal, tujuan penetapan batas hanya untuk mengatur wilayah administrasi dan pelayanan publik, karena adanya ketidaksepakatan, prosesnya menjadi terhambat,” ulasnya.
Di akhir, sesuai peraturan, dijelaskan Stevanus, Bupati memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terkait penetapan batas.
Serta masyarakat juga harus menandatangani formulir persetujuan.
“Ini seringkali menjadi kendala di beberapa daerah, masyarakat masih mempermasalahkan hak adat dan wilayah mereka,” katanya.
Kendati demikian, mereka perlu melakukan diskusi lebih lanjut dengan pihak terkait untuk mencari solusi.
“Mungkin kita bisa belajar dari daerah lain yang memiliki kondisi serupa,” tutupnya. (adv)