FASENEWS.ID, SAMARINDA – Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengungkapkan pentingnya kebebasan akademik yang diimbangi akuntabilitas publik.
Namun, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) justru menilai pernyataan itu bertolak belakang dengan realitas.
KIKA mencatat 27 kasus pelanggaran kebebasan akademik sepanjang 2024, menjadikan tahun ini sebagai catatan buruk bagi dunia pendidikan Indonesia.
Kebebasan akademik yang seharusnya menjadi fondasi intelektual kini terancam oleh politisasi dan tekanan kekuasaan.
Menjelang Pilpres 2024, manipulasi politik terhadap institusi pendidikan semakin terlihat.
Rektor beberapa universitas menjadi corong politik pemerintah, mencederai integritas akademik.
Empat pimpinan universitas, termasuk Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Ahmad Sodik dan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Yos Johan Utama, muncul dalam video dukungan terhadap kebijakan pemerintah.
Langkah ini dianggap sebagai strategi sistematis untuk memperkuat legitimasi kekuasaan melalui kampus.
Pola kontrol politik semakin nyata dengan dominasi 35% suara pemerintah dalam pemilihan rektor hingga keterlibatan birokrat dan politisi dalam badan wali amanat.
“Kampus sekarang bukan lagi benteng intelektual, tapi alat pelumas nafsu kekuasaan,” ujar Herlambang Wiratraman, anggota Dewan Pengarah KIKA, dalam pernyataan resminya pada Selasa (31/12/2024).
KIKA merinci pelanggaran kebebasan akademik dalam lima kategori besar.
1. Represi terhadap Gerakan Mahasiswa
– Diskusi mahasiswa UIN Ar-Raniry dibredel karena nobar film Pesta Oligarki.
– Aksi mahasiswa UNRI menolak kenaikan UKT dibubarkan dengan kekerasan, menyebabkan ancaman kebutaan.
– Pembekuan BEM FISIP Unair setelah mengkritik Presiden Prabowo-Gibran dengan satire.
2. Manipulasi Jabatan Akademik
– Gelar doktor kehormatan diberikan instan kepada politisi seperti Bahlil Lahadalia.
– Pengangkatan guru besar tanpa kriteria keilmuan yang memadai, termasuk pejabat publik bermasalah
3. Advokasi Sumber Daya Alam dan Hak Sipil
– Akademisi pendamping kasus Rempang dan Wadas mendapat intimidasi.
– Penelitian asing terkait lingkungan dilarang masuk Indonesia.
4. Kekerasan Seksual di Kampus
– Kasus dosen di Yogyakarta dengan 26 korban kekerasan seksual mencuat.
– Universitas Hasanuddin (Unhas) dan Universitas Pancasila juga menghadapi kasus serupa.
5. Politisasi dan Birokratisasi Pendidikan Tinggi
– Ketergantungan pada jurnal terindeks Scopus mengorbankan substansi penelitian.
– Efisiensi kampus terganggu oleh birokratisasi yang berlebihan.
Pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran merombak Kementerian Pendidikan menjadi tiga kementerian terpisah.
Langkah ini menuai pro dan kontra, terutama terkait efisiensi tata kelola dan potensi meningkatnya politisasi.
“Kalau restrukturisasi ini tidak dibarengi komitmen menjaga kebebasan akademik, ini hanya akan memperburuk dominasi politik atas pendidikan,” kata Herlambang.
Untuk mengembalikan independensi akademik, KIKA mengajukan sejumlah tuntutan.
Mulai dari penegakan integritas akademik, sanksi tegas terhadap manipulasi jabatan, hingga pembatalan pengangkatan guru besar yang tidak memenuhi standar.
“Kita tidak bisa diam saja melihat pendidikan tinggi berubah jadi alat politik. Ini harus dihentikan,” tegasnya. (wan)