FASENEWS.ID – Kasus vonis bebas Ronald Tannur, yang terlibat dalam pembunuhan Dini Sera, kini menimbulkan dampak besar bagi tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya.
Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, yang sebelumnya memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur, kini telah ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Kejaksaan Agung.
Setelah penangkapan 3 Hakim atas pembebasan Ronald Tannur, suasana di Pengadilan Negeri Surabaya menjadi sorotan.
Sejumlah karangan bunga dengan tulisan sindiran dan ucapan terima kasih untuk Kejaksaan Agung mulai berdatangan, menunjukkan dukungan publik terhadap aksi penegakan hukum.
Namun, pengirim karangan bunga tersebut masih misterius, menambah gelombang spekulasi di kalangan masyarakat.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa dalam penggeledahan yang dilakukan, ditemukan uang tunai dalam jumlah miliaran rupiah.
Temuan ini mengindikasikan adanya praktik suap yang melibatkan ketiga hakim tersebut.
Mereka menghadapi ancaman hukuman maksimal seumur hidup berdasarkan Pasal 12 huruf c dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 12 huruf c menyatakan bahwa hakim yang menerima hadiah atau janji untuk mempengaruhi putusan dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun.
Sementara itu, Pasal 12 B menyebutkan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri dianggap suap jika berhubungan dengan jabatan mereka.
Ancaman hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun.
Mahkamah Agung (MA) telah mengambil langkah tegas dengan memberhentikan sementara ketiga hakim tersebut.
Mereka akan tetap dipecat secara permanen jika dinyatakan bersalah dalam proses hukum yang sedang berlangsung.
MA juga menekankan pentingnya menghormati asas praduga tak bersalah hingga ada putusan akhir dari pengadilan.
Sementara itu, pengacara Lisa Rahmat, yang terlibat dalam kasus ini, dan ditahan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Surabaya pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Kasus ini bukan hanya soal tiga hakim, tetapi mencerminkan masalah yang lebih besar dalam sistem peradilan Indonesia. (naf)