FASENEWS.ID – Pembangunan pagar laut di kawasan Pantai Utara Tangerang, Banten, yang sempat menjadi perdebatan, ternyata menyimpan lebih banyak fakta mengejutkan.
Ahmad Khozinudin, pengacara yang memimpin gugatan terkait pembangunan pagar laut, mengungkapkan adanya jaringan besar yang terlibat dalam proses penguasaan tanah rakyat dengan modus yang tidak masuk akal.
Hal ini disampaikan Khozinudin dalam diskusinya bersama Abraham Samad melalui Channel YouTube “Abraham Samad SPEAK UP” pada 21 Januari 2025, yang buka-bukaan soal siapa saja aktor dari sertifikat pagar laut dan sosok Aguan di balik pagar laut PIK.
Dalam konferensi pers dan audiensi yang dilakukan bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Khozinudin menjelaskan bahwa pagar laut tersebut bukan hanya soal penghalang akses nelayan, tetapi juga menjadi alat untuk merampas tanah rakyat yang luasnya bisa mencapai 900 hektare.
“Pagar laut tadi kan ada sertfikatnya, sertifikatnya ada yang bermain, seperti aparat desa dan notaris. Modusnya itu selain di laut, kalau di darat untuk merampas tanah rakyat biar negosisasinya murah itu misal rakyat punya tanah atau sertifikat, sama-sama ingin dirampas, ini main dengan BPN dan lurah dengan menerbitkan sertifikat lain, lalu seolah-olah diplotkan bahwa overlapping alias numpuk sehingga berkas yang dimiliki rakyat dinyatakan nggak bener,” ujar Khozinudin menjelaskan bagaimana “cara main” di lapangan untuk memperoleh tanah.
“Terus mereka bakal ‘Sekarang, udah jual aja’. Orang (rakyat) ini sudah nggak punya kemampuan, daripada nggak dapat (pembayaran) sama sekali, akhirnya memutuskan untuk melepaskan tanahnya,” sambungnya.
Menurut Khozinudin, pihak yang terlibat dalam praktik perampasan tanah ini adalah sekelompok individu yang bekerja sama untuk mengubah status tanah pesisir menjadi milik mereka, dengan tujuan untuk pengembangan properti di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK).
Nama-nama yang terlibat dalam eksekusi pagar laut ini adalah Gojali alias Engcun, Fredy, dan Hendri.
“Yang nggak masuk akal, masa ada individu boleh menguasai tanah sampai 900 hektare. Nah, orang yang ditaroh untuk mengambil tanah ini ada tiga nama yang terkenal, satu Gojali alias Engcun, dia mainnya banyak peran. Engcun ini orangnya Aguan, tapi nggak langsung, lewat Ali Hanafi Lijaya,” tutur Khozinudin.
“Dia (Engcun) kalau di sertifikat namanya A. Gojali, tepatnya Ahmad Gojali. Kedua, Fredy. Ketiga, Hendri. Tiga nama ini menguasai banyak sertifikat yang dijadikan sarana untuk merampas tanah rakyat,” terangnya lagi.
Mereka bukan hanya berperan dalam pengurusan sertifikat tanah dan pembangunan pagar laut, tetapi juga dalam menekan warga untuk menyerahkan tanah mereka dengan harga yang jauh di bawah nilai pasar.
“Ini bukan jual beli, ini perampasan. Kenapa? Saya memabatasi definisi perampasan adalah tanah yang diambil oleh pihak lain tanpa keridhoan pemiliknya, baik karena nggak ridho harganya, apalagi nggak dibayar sama sekali,” tegas Khozinudin.
Dalam beberapa kasus, warga yang memiliki tanah dipaksa untuk melepaskan haknya dengan harga yang jauh di bawah nilai sebenarnya, mulai dari Rp100.000 per hektare, atau bahkan tidak dibayar sama sekali.
“Transaksi yang terjadi di sana sering kali dipaksakan. Mereka (pemilik tanah) dipaksa untuk menerima harga yang sangat murah, bahkan kadang tanpa dibayar sama sekali,” tambahnya.
“Jadi, kalau terjadi transaksi ‘Oh, kami udah beli, lho’. Iya, secara formil beli, tapi prosesnya itu tidak berdasarkan kesepakatan, melainkan atas keterpaksaan. Ada intimidasi,” lanjut Khozinudin.
Keadaan ini semakin mencengangkan ketika Khozinudin mengungkapkan bahwa proses eksekusi tanah ini melibatkan pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat dengan pengusaha properti besar.
“Ali Hanafi Lijaya, yang dikenal sebagai orang yang sangat berpengalaman dalam merampas tanah, sangat terlibat dalam proses ini,” jelasnya.
“Coba, pertama ditawar Rp200.000 untuk rakyat, begitu Ali Hanafi Lijaya datang langsung harganya diturunkan menjadi Rp150.000, tidak lama kemudian bahkan bisa diturunkan menjadi Rp100.000. Pada harga terendah itu langsung diberikan penawaran kepada rakyat ‘Mau atau nggak? Kalau nggak mau, saya gusur, saya uruk’ begitu mainnya si Ali Hanafi Lijaya,” ungkapnya lagi.
Nama Ali Hanafi Lijaya muncul sebagai individu yang bertindak sebagai perantara antara warga yang terancam kehilangan tanah dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam menguasai lahan tersebut.
“Ali Hanafi Lijaya ini di lapangan terkenal monsten perampas tanah ini. Udah kenyang ini, muntah ini. Memang Allah yang berkendak akhirnya rame terungkap,” ucap Khozinudin.
Dalam hal ini, dikatakan bahwa salah satu pihak yang paling diuntungkan adalah Aguan, yang dikaitkan dengan pengembangan Pantai Indah Kapuk.
“Ini (Ali Hanafi Lijaya) yang bisa jadi dikorbankan karena kalau mau narik ke Aguan itu berdasarkan bukti hukum sulit, melompat, tapi analisa kepentingan. Siapa yang diuntungkan dari tanah tadi? Ya, Aguan,” tutur Khozinudin.
Ia menjelaskan bahwa tanah yang sebelumnya dimiliki oleh nelayan dan masyarakat sekitar diubah statusnya, melalui sertifikat yang diterbitkan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan aparat desa, untuk kemudian digunakan dalam pengembangan properti yang akan memperkaya Aguan dan Anthony Salim, pemilik Pantai Indah Kapuk.
“Tanah-tanah rampasan ini akhirnya digunakan untuk industri properti PIK. Siapa yang punya PIK? Ya, Aguan dan Anthony Salim. Kalau PIK untung besar, siapa yang paling cuan? Ya, Aguan dan Anthony Salim. Artinya, Aguan jadi penadah tanah rampasan itu tadi,” imbuhnya.
Modus yang digunakan dalam kasus ini, menurut Khozinudin, adalah dengan menjual tanah dengan harga sangat murah kepada pihak-pihak yang memegang kekuasaan, sambil menekan warga dengan ancaman penggusuran.
“Ali Hanafi Lijaya bahkan mengancam warga dengan mengatakan ‘kalau tidak jual, saya gusur, saya uruk tanahnya’. Itu yang mereka hadapi,” imbuh Khozinudin.
Lebih lanjut, Khozinudin menilai bahwa skema ini tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam proses hukum.
“Kita harus mempertanyakan mengapa ada individu yang bisa menguasai tanah hingga 900 hektare hanya dengan menggunakan tiga nama di sertifikat, sementara banyak warga yang kehilangan haknya dengan harga yang sangat murah,” kata Khozinudin.
Dengan semakin terbukanya fakta-fakta ini, Khozinudin berharap pihak berwenang segera mengambil langkah tegas.
“Kami sebenarnya tidak mau informasi ini hanya kami ketahui atau informasi ini tidak membantu proses pengungkapan. Kami sudah datang ke KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk menyampaikan informasi ini,” terang Khozinudin.
“Kami sudah menyampaikan surat audiensi dan memang kami sempat membuat konferensi pers di depan KKP untuk menjelaskan agar nama-nama ini yang ditindaklanjuti, bukan lagi memanggil Jaringan Rakyat Pantura (JRP) yang sudah jelas nggak masuk akal itu. Ini kan buang-buang waktu gitu, lho,” sambungnya.
“Di situlah kami menyimpulkan memang berdasarkan temuan, kenapa sih kok pejabat ini tindakannya lamban? bahkan kalau melakukan tindakan pun terpaksa tunggu ramai? dan setelah itu tindakan yang kecil sedikit-sedikit? Jawabannya adalah karena semua sudah terlibat,” ungkap pengacara itu.
Berdasarkan penjelasan Ahmad Khozinudin diketahui dengan jelas dugaan kronologis dan modus dari pagar laut bahwa ada pihak yang dapat menguasai hingga 900 hektare tanah hanya dengan tiga nama di sertifikat, yakni Gojali alias Engcun, Fredy, dan Hendri.
Engcun, Fredy, dan Hendri ini merupakan sosok yang turun lapangan untuk mengurus eksekusi pagar laut mulai dari pengurusan sertifikat hingga pencarian bahan baku.
Tiga nama tersebut merupakan bagian dari tim Aguan, yang “bermain” untuk kepentingan perusahaan, yakni Pantai Indah Kapuk. (apr)