FASENEWS.ID – Kebijakan pemerintah Indonesia baru-baru ini mendapat banyak pertentangan publik, yakni perihal ekspor pasir laut.
Ekspor pasir laut mulai banyak diperbincangkan usai pda Mei 2023 lalu, muncul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
PP inilah yang kemudian membuka keran adanya potensi ekspor pasir laut dari Indonesia.
Regulasi ini muncul sekaligus membuat aturan sebelumnya yang melarang ekspor pasit laut, menjadi tak lagi berlaku.
Tim redaksi Fasenews.id himpun beberapa informasi perihal ekspor pasir laut ini:
1. Pernah dilarang di era Megawati Soekarnoputri
Di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 2002 lalu, ekspor pasir laut sempat dilarang.
Pelarangan itu dengan dasar diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, serta Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor SKB.07/MEN/2/2002, dan Nomor 01/MENLH/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Ketika itu, larangan muncul karena pemeritah anggap kerusakan ekosistem khususnya kawasan pesisir Indonesia, bisa massive terjadi, jika ekspor pasir laut tak dihentikan.
Ekspor pasir laut dinilai hanya menguntungkan Singapura, sementara dampak kerusakannya terjadi justru lebih besar di Indonesia.
Dilansir dari pemberitaan Harian Kompas, 16 Februari 2003, sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun.
2. Digolkan di era Jokowi
Sempat dilarang, di era Presiden Jokowi, ekspor pasir laut diperbolehkan kembali.
Pemerintah RI memberikan syarat untuk bisa melakukan ekspor pasir laut itu.
Pertama, adalah soal jenis pasir yang diizinkan untuk diekspor adalah pasir sedimen yang dinilai mengganggu pelayaran dan terumbu karang.
Syarat kedua, adalah kegiatan ekspor yang dilakukan oleh pihak badan usaha, harus mengajukan izin usaha pertambangan (IUP) terlebih dahulu ke pemerintah.
3. Ditentang banyak kalangan
Lembaga penelitian ekonomi dan kebijakan publik, CELIOS, menjadi salah satu penentang dari kebijakan ekspor pasir laut ini.
CELIOS menilai kebijakan ini akan memicu kehancuran ekosistem laut, meningkatkan erosi pantai, merusak terumbu karang, dan menimbulkan hilangnya biodiversitas laut.
Tidak hanya itu, masyarakat pesisir, terutama nelayan, diyakini juga akan terancam kehilangan mata pencaharian akibat rusaknya habitat perikanan tangkap.
Dari studi CELIOS itu, mengungkapkan meskipun ekspor pasir laut diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pengusaha dan pendapatan negara, potensi keuntungan bagi negara terbilang kecil.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menerangkan soal ini.
“Simulasi yang dilakukan menemukan dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat akan menurun hingga Rp1,21 triliun. Jadi studi ini memberikan respon atas berbagai klaim pemerintah bahwa ekspor pasir laut akan meningkatkan keuntungan ekonomi dan pendapatan negara. Klaim itu ternyata berlebihan,” ucapnya dalam rilis yang didapatkan tim redaksi Fasenews.id, Jumat (4/10/2024).
Sementara itu pendapatan negara estimasinya hanya bertambah Rp170 miliar jika menghitung dampak tidak langsung ke sektor lapangan usaha secara keseluruhan.
Meski pengusaha ekspor pasir laut mendapat keuntungan sebesar Rp502 miliar, namun terdapat kerugian yang dialami oleh pengusaha di bidang perikanan.
“Modelling ekonomi yang dilakukan CELIOS memvalidasi bahwa narasi penambangan pasir laut akan mendorong ekspor dan penerimaan negara secara signifikan tidaklah tepat. Penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutup kerugian keseluruhan output ekonomi yang berisiko turun Rp1,13 triliun.” kata Huda.
Studi juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko mengurangi produksi perikanan tangkap.
Akibat adanya ekspor pasir laut sejumlah 2,7 juta m3, ada penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp1,59 triliun.
Ditaksir pendapatan nelayan yang hilang Rp990 miliar dan berkurangnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang. (as)