FASENEWS.ID – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap keterlibatan pemilik saham mayoritas PT Tinindo Inter Nusa (TIN), Hendry Lie, dalam skandal korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.
Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp300,003 triliun.
“Yang merugikan keuangan negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 (Rp300,003 triliun) berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah tahun 2015 sampai dengan tahun 2022 tanggal 28 Mei 2024 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) RI,” ungkap jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (30/1).
Hendry Lie yang juga merupakan pernah menjadi Bos Sriwijaya Air itu didakwa bersekongkol dengan sejumlah pihak, termasuk Rosalina, Fandy Lingga, Suparta, Reza Andriansyah, Harvey Moeis, dan lainnya yang menjalani proses hukum terpisah.
Ia disebut memerintahkan General Manager Operasional PT TIN Rosalina dan Marketing PT TIN Fandy Lingga untuk membuat dan menandatangani surat penawaran kerja sama sewa alat prosesing timah dengan PT Timah dan beberapa smelter swasta.
Selain itu, Hendry Lie melalui PT TIN dan perusahaan afiliasinya, seperti CV Bukit Persada Raya dan CV Sekawan Makmur Sejati, disebut membeli bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Ia juga diduga menyetujui pembentukan perusahaan cangkang guna memperlancar transaksi ilegal tersebut.
Dalam pengadilan, jaksa juga menyoroti pertemuan antara Hendry Lie dan beberapa petinggi PT Timah, termasuk Direktur Utama Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Operasi dan Produksi Alwin Albar, guna membahas pembagian kuota ekspor timah dari smelter swasta.
“Terdakwa Hendry Lie melalui Rosalina dan Fandy Lingga menyetujui permintaan Harvey Moeis (mewakili PT RBT) untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey Moeis sebesar 500 USD sampai dengan 750 USD per ton yang seolah-olah dicatat sebagai CSR dari smelter swasta,” ujar jaksa.
Lebih lanjut, jaksa menyebutkan bahwa proses kerja sama ini tidak didahului dengan studi kelayakan atau kajian yang mendalam.
Selain itu, pengawasan dari instansi terkait, seperti Dinas ESDM Bangka Belitung dan Kementerian ESDM, dinilai lemah sehingga praktik ilegal ini berlangsung bertahun-tahun tanpa kendala. (as)