Menu

Dark Mode
Siswa SMAN 1 Mempawah Gagal SNBP, Waka Kurikulum Diminta Tanggung Jawab! Dua Minggu Cari LPG 3 Kg, Warga Karawaci Protes ke Menteri Bahlil: Anak Kami Lapar! Cerita “Budi” Pencetus Pertama Peringatan Darurat Indonesia, Ternyata Garuda Biru Tak Sengaja Jadi Gerakan Protes Dari Garuda Biru Jadi Garuda Hitam, Peringatan Darurat Part 2? Hashtag #IndonesiaGelap Suarakan Momok Tanah Air Nenek Yonih Lansia Meninggal Dunia Usai Antre LPG 3 Kg, Warga Sebut Sempat Bawa 2 Tabung Gas Kosong  Bantu Warga Terdampak Banjir di Samarinda, Laskar Kebangkitan Kutai dan IZI Tamiya 4Wd Bagikan Paket Sembako

News

Sosok Gus Dur, Ayah Alissa Wahid yang Digelari Bapak Tionghoa Indonesia

badge-check


					Ilustrasi potret Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur/ IG @_luay.saw Perbesar

Ilustrasi potret Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur/ IG @_luay.saw

FASENEWS.ID –  Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, merupakan Presiden ke-4 Republik Indonesia yang memiliki peran besar dalam memperjuangkan hak-hak warga Tionghoa di Tanah Air.

Berkat kebijakannya, masyarakat Tionghoa kini dapat merayakan Imlek dengan bebas dan penuh suka cita.

Diskriminasi Etnis Tionghoa di Masa Orde Baru

Sebelum kebijakan Gus Dur diberlakukan, masyarakat Tionghoa di Indonesia menghadapi diskriminasi, terutama pada masa Orde Baru.

Dalam artikel akademik “Menganalisis Peran Gus Dur dalam Perjuangan Hak Umat Beragama Konghucu di Indonesia” oleh Ria Anjani, disebutkan bahwa kebijakan asimilasi yang diterapkan pemerintah justru memperparah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dinilai justru melarang perayaan Imlek di ruang publik.

Selain itu, agama Konghucu tidak diakui dalam sistem pendidikan, dan larangan penggunaan bahasa Mandarin serta aksaranya semakin mempersempit ruang kebebasan masyarakat Tionghoa.

Kondisi ini menyebabkan berbagai ketegangan sosial yang berujung pada kerusuhan, bahkan tindakan kekerasan, tanpa perlindungan penuh dari pemerintah bagi komunitas Tionghoa.

Era Reformasi: Awal Penerimaan Kembali

Perubahan mulai terjadi saat era reformasi di bawah kepemimpinan BJ Habibie. Masyarakat mulai menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap minoritas, termasuk etnis Tionghoa.

Seminar dan penelitian mengenai agama Konghucu mulai bermunculan, menandai awal dari pengakuan kembali identitas mereka.

Imlek Resmi Menjadi Hari Libur Nasional

Di era kepemimpinan Gus Dur, kebebasan beragama dan berbudaya semakin ditegakkan. Berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000, Inpres No. 14 Tahun 1967 resmi dicabut, memberikan hak penuh bagi warga Tionghoa untuk menjalankan agama, kepercayaan, dan budayanya, termasuk merayakan Imlek secara terbuka.

Selain itu, bahasa Mandarin kembali diperbolehkan digunakan, dan Konghucu diakui sebagai agama resmi di Indonesia.

Keputusan ini diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama No. 13 Tahun 2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif, hingga akhirnya pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, Keppres No. 19 Tahun 2002 menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Gus Dur dan Perjuangannya bagi Masyarakat Tionghoa

Langkah Gus Dur dalam memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa tak lepas dari interaksi panjangnya dengan komunitas Konghucu. Putrinya, Alissa Wahid, dalam wawancara dengan Tempo pada 4 Februari 2019, mengungkapkan bahwa Gus Dur sudah lama bergaul dengan kalangan Konghucu dan memahami persoalan diskriminasi yang mereka hadapi.

Salah satu peristiwa yang memperkuat keyakinan Gus Dur adalah ketika ia menjadi saksi ahli dalam kasus pernikahan Budi Wijaya dan Lanny Guito di Surabaya pada 1990-an.

Saat itu, pernikahan mereka ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena Konghucu belum diakui sebagai agama resmi di Indonesia.

Pasangan ini pun menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya agar pernikahan mereka diakui secara sah oleh negara.

Keberpihakan Gus Dur pada kebebasan beragama dan hak asasi manusia membuatnya mendapat gelar “Bapak Tionghoa Indonesia” pada 10 Maret 2004, dalam perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah.

Perjuangannya menjamin bahwa masyarakat Tionghoa dapat menjalankan budaya dan agamanya dengan bebas, menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang lebih inklusif dan pluralis. (as)

Facebook Comments Box

Read More

Siswa SMAN 1 Mempawah Gagal SNBP, Waka Kurikulum Diminta Tanggung Jawab!

6 February 2025 - 13:48 WIB

Dua Minggu Cari LPG 3 Kg, Warga Karawaci Protes ke Menteri Bahlil: Anak Kami Lapar!

5 February 2025 - 13:31 WIB

Nenek Yonih Lansia Meninggal Dunia Usai Antre LPG 3 Kg, Warga Sebut Sempat Bawa 2 Tabung Gas Kosong 

4 February 2025 - 05:04 WIB

Siapa Saja yang Boleh Beli LPG 3 Kg? Berikut Kelompok Masyarakat yang Berhak! Tak Bisa Lagi Beli di Pengecer

3 February 2025 - 08:08 WIB

Puskepi Nilai Peraturan Ambigu, Sebut Alihkan Pengecer ke Pangkalan LPG Belum Jamin Kurangi Beban Subsidi

3 February 2025 - 07:44 WIB

Trending on News