FASENEWS.ID – Belum genap satu minggu setelah pelantikan kepala negara dan jajarannya, wajah baru pemerintahan Indonesia telah menjadi sorotan publik dalam maupun luar negeri, setelah pernyataan menteri luar negeri Indonesia, Sugiono dalam forum BRICS Plus Summit di Kazan pada 24 Oktober 2024 lalu.
Sugiono menyampaikan surat expression of interest untuk bergabung dalam aliansi yang beranggotakan 5 negara besar diantaranya Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).
Saat ini, Indonesia telah resmi mendaftar keanggotaan.
Ketertarikan ini belum pernah disampaikan secara eksplisit pada masa pemerintahan presiden Jokowi karena beberapa pertimbangan, mulai dari kurangnya urgensi, perbedaan sistem politik, instabilitas hubungan antar negara anggota BRICS hingga upaya untuk mengimbangi hubungan Indonesia dengan negara barat.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika politik di kepemimpinan yang baru ini telah menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang strategis jika harus bergabung dengan aliansi BRICS.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pendaftaran resmi Indonesia ke dalam BRICS semakin menegaskan ketergantungan Indonesia pada China.
“Padahal tanpa BRICS dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi China sudah sangat besar. Impor Indonesia dari China melonjak 112,6% dalam 9 tahun terakhir, dari US$29,2 miliar di 2015 menjadi US$ 62,1 miliar pada 2023. Sementara investasi dari China melonjak 11 kali di periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023.” Bhima berkomentar.
Selain kekhawatiran terjadi duplikasi pada kerjasama bilateral dengan China, proyek-proyek yang didanai pemerintah dan swasta China di Indonesia menimbulkan berbagai persoalan terutama segi lingkungan hidup dan tenaga kerja, ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan.
Kecelakaan kerja yang terjadi di IMIP berulang kali menunjukkan standarisasi dan pengawasan proyek investasi China masih lemah. Padahal Indonesia ingin meningkatkanya nilai tambah komoditas secara berkualitas, yang berarti wajib selaras dengan investasi yang lebih berkualitas. Diversifikasi asal investasi yang bisa membantu Indonesia naik kelas merupakan strategi utama.
“Ketergantungan pada China juga membuat perekonomian lebih rapuh. Di saat ekonomi China diproyeksikan menurun 3,4% dalam 4 tahun ke depan berdasarkan World Economic Outlook IMF, terdapat kekhawatiran dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian. Kondisi ini idealnya direspon dengan penguatan diversifikasi negara mitra di luar China bukan malah masuk menjadi anggota BRICS” lanjut Bhima.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk, CELIOS juga menyampaikan “Hingga saat ini belum ada urgensi Indonesia untuk bergabung dengan grup ekonomi BRICS mengingat keberadaan China dalam grup tersebut dikhawatirkan mempengaruhi independensi Indonesia dalam bersikap di berbagai isu krusial. Salah satunya merespon manuver China di kawasan Laut China Selatan.” tutur Zulfikar.
Selanjutnya Yeta Purnama Peneliti CELIOS juga menambahkan bahwa “Belum lama ini saat Indonesia sedang merayakan pelantikan presiden, kapal China membuat heboh masuk ke wilayah yuridiksi di Natuna Utara dan belum ada tanggapan langsung dari Presiden Indonesia terkait isu tersebut, ini menjadi sebuah bukti bahwa pemerintah tengah bimbang bersikap ditengah keinginan bergabung ke BRICS.” jelas Yeta.
Di sisi lain, negara anggota BRICS seperti China dan India memiliki konfrontasi yang intens di tiga wilayah perbatasan kedua negara meliputi, Himachal Pradesh, Uttarakhand, dan Arunachal Pradesh. Menurut Zulfikar, konflik tersebut berpotensi mengganggu stabilitas hubungan China dan India, dan secara bersamaan juga akan mempengaruhi kemitraan dalam aliansi BRICS.
Keputusan bergabungnya Indonesia kedalam BRICS juga akan berpotensi mempengaruhi aksesi Indonesia ke OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan bermitra dengan grup tersebut akan semakin mengecil.
“Dibandingkan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi, sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju. Selain itu mengingat grup OECD memiliki anggota yang lebih besar sehingga dirasa lebih penting karena Indonesia perlu mendiversifikasi mitra yang lebih luas selain dari China. Energi dan fokus pemerintahan baru jika harus bergabung dalam banyak kerjasama multilateral akan sangat mahal termasuk soal biaya keanggotaan. Jauh lebih efektif fokus ke kemitraan yang sudah ada.” tutup Yeta. (as)