SAMARINDA – Sejak pagi, tawa riang puluhan anak-anak memenuhi kawasan jalan Lapandewa, Batu Besaung, Sempaja Utara, Samarinda, Minggu 23 November 2025. Kendaraan juga silih berganti memasuki area perkebunan di sudut tersembunyi jauh dari hiruk pikuk kota.
Bertajuk “Rimba Adventure” disanalah Sekolah Rimba Samarinda menghadirkan pengalaman belajar yang tak biasa bagi anak-anak berusia 7 hingga 12 tahun. Dengan langkah kecil namun penuh rasa ingin tahu, sebanyak 83 anak mengikuti rangkaian aktivitas yang dirancang untuk mengasah keberanian, ketangkasan, serta kecintaan terhadap lingkungan dibawah bimbingan pendamping.
Bukan ruang kelas berdinding ditemui anak-anak yang terbagi 10 kelompok, melainkan jalur tanah, jembatan tali, bebatuan, serta berbagai permainan alam yang menantang imajinasi. Para peserta menjelajahi hutan kecil, meniti rintangan buatan untuk memecahkan teka-teki alam sederhana.
Lingkungan alami yang jauh dari kebisingan kota memberi ruang bagi mereka untuk fokus pada pengalaman, memperkuat kemandirian, dan belajar mengambil keputusan. “Rimba Adventure kita hadirkan bukan anak-anak untuk bermain, tetapi juga belajar mengenali diri mereka sendiri. Mereka belajar bahwa tantangan bisa dihadapi dengan keberanian dan dukungan teman,” ujar Yurni Handayani, penggagas sekolah rimba.
Di tengah dunia yang serba cepat, ruang belajar seperti ini hadir sebagai oase bagi tumbuh kembang anak, tempat di mana belajar, bermain, dan petualangan berpadu menjadi pengalaman yang membekas.
Rimba Adventure ini tak sekedar ruang belajar bagi anak, tapi juga memberikan layanan pemeriksaan kesehatan gratis bagi masyarakat sekitar, hingga Bazar para pelaku usaha.
Mengenal Sekolah Rimba Samarinda

Peserta Rimba Adventure melintasi rintangan yang disediakan
Dibawah rindangnya pohon mangga, delapan anak-anak duduk melingkar beralas spanduk, enam orang pengajar berbagai canda sambil bermain hingga belajar pola hidup sehat, tempat sederhana itulah sekolah rimba bermula, tepat awal Juni 2025 lalu.
Yurni Handayani bercerita, inisiatifnya karena dorongan adanya anak-anak diarea itu kesulitan menempuh pendidikan baik Taman kanak-kanak (TK) maupun Sekolah Dasar (SD) karena masalah ekonomi hingga jarak kesekolah yang cukup jauh.
Sekolah rimba hadir sebagai pendidikan alternatif yang rutin dilakukan setiap akhir pekan ditengah komunitas terpencil yang jauh dari akses pendidikan formal. Lambat laun jumlah anak bertambah hingga 20 anak. Seiring dengan itu, Yurni bilang juga menambah tenaga pengajar dengan membuka volunteer yang bersedia menyiksa waktu dan tenaga.
“Para pengajar ini kadang sibuk, apalagi kegiatan sosial, jaraknya jauh bolak-balik, takutnya anak-anak terbengkalai, setelah kita buka volunteer ternyata banyak yang berminat, saat itu tembus kurang lebih 20 pengajar, jadi kalau ada yang sibuk, masih ada yang beckup,”ungkapnya.
Melalui promosi di media sosial, jumlah anak terus bertambah, kini berjumlah 40 anak, 25 diantaranya usia PAUD, dan sekitar 15 anak usia sekolah dasar. Seiring dengan itu donasi bantuan fasilitas berupa buku belajar, dan fasilitas penunjang juga berdatangan. Hingga dibuat sebuah gazebo sebagai tempat bernaung untuk kenyamanan pembelajaran.
“Alhamdulillah orang tua mensuport, dia membuatkan kami gazebo sebagai ruang kelas kami belajar,”
Kini sekolah rimba yang berdiri dibawah naungan yayasan Kaindea Study Center menunjukkan perkembangan, selain promosi lewat media sosial juga membangun kemitraan menggelar event. Termasuk dilaksanakannya kegiatan Rimba adventure.
Hadirkan Kebahagiaan Warga Sekitar

Warga antre di posko layanan pemeriksaan kesehatan gratis
Keseharian warga di Batu Besaung adalah bertani dan berkebun. Rerata mereka usia lanjut. Adanya sekolah rimba bagai hiburan disela rutinitas dengan menyaksikan tawa riang anak-anak.
Tampak senyum menerka diwajah Lajemah (96) yang tinggal di Batu Besaung sejak tahun 1980an. Agenda rimba Adventure hadirkan suasana berbeda, jumlah pengunjung jauh lebih banyak dari biasanya. Tak sekedar memberikan pelajaran bagi anak-anak mengenal alam tetapi juga melayani masyarakat sekitar untuk layanan kesehatan cek tenakan, kolesterol, asam urat yang dijalankan oleh para volunteer.
“Iya senang kalau ada begini (kegiatan) jadi rame karena disini juga baru ada sekolah,”jelasnya.
Rumahnya memang hanya sepelemparan batu dari sekolah rimba. Uning bercerita, setiap minggu dirinya selalu menunggu duduk didepan rumah melihat anak-anak belajar.
“Ada juga yang tempatnya jauh, banyak aja orang tua, ada yang memang mengantar anaknya, ada juga yang datang hanya untuk melihat anak-anak bermain dan belajar,”pungkasnya.
(*)


