FASENEWS.ID – Pengangkatan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet oleh Presiden Prabowo Subianto menuai kontroversi.
Peneliti dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menilai langkah ini melanggar Undang-Undang TNI, yang mengatur bahwa prajurit aktif seperti Mayor Teddy harus mengundurkan diri untuk menduduki jabatan sipil.
Diketahui bahwa Mayor Teddy merupakan perwira menengah TNI Angkatan Darat.
Menurut Pasal 47 UU ayat (2) TNI Nomor 34 tahun 20024, tentara aktif hanya bisa mengisi posisi di lembaga tertentu, seperti Badan Intelijen Negara dan Sekretaris Militer Presiden.
Dari perspektif TNI Angkatan Darat, Brigjen Wahyu Yudhayana menyatakan bahwa Mayor Teddy tidak perlu pensiun, karena jabatan Sekretaris Kabinet dianggap sebagai penugasan di luar struktur militer.
Dirinya menegaskan bahwa posisi ini tidak setara dengan menteri, sehingga memungkinkan tentara aktif untuk menjabat.
Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian Partai Gerindra, juga mendukung pandangan ini, beranggapan bahwa posisi Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet tidak setingkat menteri.
Namun, anggota DPR, TB Hasanuddin, tetap bersikukuh bahwa Mayor Teddy seharusnya mundur dari dinas militer untuk menjabat sebagai Sekertasi Kabinet.
Dirinya mengingatkan bahwa UU TNI secara tegas membatasi jabatan sipil yang dapat diisi oleh tentara aktif seperti Mayor Teddy.
Hal ini menciptakan dilema di kalangan hukum dan kebijakan, dengan banyak pihak meminta klarifikasi lebih lanjut.
Seiring dengan perdebatan yang berkembang di kalangan publik, Istana menegaskan bahwa Mayor Teddy dapat menjalankan tugasnya tanpa harus pensiun.
Namun, penentangan dari berbagai pihak menunjukkan bahwa isu ini akan terus menjadi sorotan, terutama terkait dengan kepatuhan Mayor Teddy terhadap regulasi yang ada.
Dalam konteks yang lebih luas, pengangkatan Mayor Teddy mencerminkan tantangan dalam memadukan struktur militer dan sipil di pemerintahan baru.
Banyak yang khawatir bahwa langkah ini dapat membuka jalan bagi pelanggaran hukum lainnya dan menimbulkan kembali dwifungsi ABRI, yang dikhawatirkan akan merusak tatanan sipil di Indonesia.
Kejelasan hukum dan pengaturan yang memadai menjadi kunci untuk menghindari kepentingan-kepentingan yang tidak seharusnya. (naf)